Home » Opini » Pola Interaksi Sosial Agama dan Corak Kebudayaan Kampung Madras dalam Membangun Harmoni Sosial

Pola Interaksi Sosial Agama dan Corak Kebudayaan Kampung Madras dalam Membangun Harmoni Sosial

10.23.2022
Share Berita

SUARAPUBLIK.CO.ID – Opini | Kota Medan merupakan kota terbesar ke-3 di Indonesia. Medan dikenal sebagai salah satu kota multietnis yang memiliki demografi penduduk dengan latar belakang agama dan budaya yang berbeda-beda. Terdapat suatu kawasan yang menarik perhatian karena tingkat multikultural yang tinggi. Kawasan tersebut bernama Kampung Madras atau biasa dikenal dengan Kampung Keling. Masyarakat Kampung Madras dihuni oleh mayoritas etnis Tamil yang berasal dari India Selatan dan juga diwarnai dengan etnis lain yang hidup berdampingan. Terdapat beberapa rumah ibadah seperti Kuil Hindu Shri Mariamman, Vihara Gunung Timur, Masjid Jami, Masjid Ghaudiyah, Gereja Khatolik St. Antonius dan Gereja Kristen Indonesia.

Adapun yang menjadi fokus kajian observasi kami adalah memahamai pola interaksi masyarakat kampung Madras melalui kunjungan sekaligus wawancara di dua tempat keagamaan yaitu Kuil Shri Mariamman dan Yayasan India Muslim (YIM). Yayasan India Muslim didirikan pada tahun 1887 bersamaan dengan didirikannya Masjid Jamik. Haji Muhammad Sidiq Saleh yang merupakan ketua YIM sekaligus narasumber menegaskan bahwa kehidupan sosial di Kampung Madras memiliki hubungan yang harmonis dengan agama Hindu, Kristen Katolik, Buddha dan agama lain begitu pula dengan berbagai etnis diluar India. “Kita biasanya kumpul bersama untuk kegiatan tertentu seperti makan bersama, namun untuk urusan akidah itu kembali kepada keyakinan masing-masing”, ujar Ketua YIM.

Hal ini lah yang disebut dengan pemahaman mengenai batas-batas yang tidak merusak toleransi beragama. Memahami dan menghargai merupakan nilai dasar yang ditanamkan dalam kehidupan Kampung Madras sejak terbentuknya kampung tersebut.

Kami juga melakukan kunjungan di Kuil Shri Mariaman dengan narasumber Pandita Candra yang merupakan salah satu pengurus kuil. Kuil Shri Mariaman didirikan pada tahun 1884 yang menjadikan kuil ini sebagai kuil hindu tertua di Kota Medan. Pada tahun 1988, kuil ini mulai dibangun dengan megah dan diresmikan penggunaannya pada 23 Oktober 1991. Kuil shri Mariaman ditetapkan sebagai cagar budaya sekaligus kunjungan wisata pada Oktober 2021 oleh Walikota Medan, Bapak Boby Nasution.

Dalam sesi wawancara, Pandita Candra menegaskan, “Pentingnya kerukunan dan keharmonisan dalam perbedaan agama, etnis, dan budaya yang berbeda. “Sejak leluhur para orang tua telah merukunkan kita, nah bisa dilihat dari keberadaan rumah ibadah yang saling berdekatan antara kuil, masjid, vihara, dan gereja”, ujarnya.

Pandita Candra juga mengatakan pentingnya menjaga kerukunan seperti yang telah ditanamkan oleh para leluhur sebelumnya.

Salah satu perayaan agama Hindu yang dilaksanakan di Kuil Shri Mariaman adalah Perayaan Deevapali. Pawai Perayaan Deevapali biasanya dilakukan setelah shalat isya agar tidak menganggu ibadah shalat umat muslim. Terdapat juga partisipasi dari masyarakat sekitar yang berbeda keyakinan untuk ikut membantu persiapan perayaan besar tersebut. Dari sikap antarumat tersebut dapat dilihat bagaimana mereka menjaga harmonisasi sosial melalui keindahan pola interaksi bermasyarakat.

Di Kampung Madras sendiri, pernah terjadi konflik beragama yang dimulai dari adanya oknum yang menjelekkan ajaran Islam, dan penyelesaiannya dilakukan secara kekeluargaan dengan memanggil oknum tersebut dan meluruskan segala permasalahan secara internal. Untuk mempererat hubungan silaturahmi antara berbagai agama di kampung Madras, dilakukan duduk bersama lintas agama dengan mengundang seluruh petinggi agama yang ada di Kampung Madras. Terdapat juga enam majelis yang menjadi perwakilan tiap-tiap agama yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia, Majelis Ulama Indonesia, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Perwakilan Umat Buddha Indonesia, dan Majelis tinggi agama Konghucu.

Dalam kampung Madras berdiri sebuah gapura bertuliskan “Welcome to Little India” dengan corak berwarna merah bercampur oranye. Gapura ini diresmikan pada 27 November 2018 dengan melibatkan seluruh masyarakat dari setiap agama yang ada dikampung Madras. Sampai sekarang, berdirinya gapura masih menjadi simbol keharmonisasian dalam masyarakat multikulktural di Kampung Madras.

Penulis adalah mahasiswa/i Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara [USU] Medan

  • Winda Romaboida Situmorang (210901062)
  • Nahwa Zainab Marpaung (210901060)
  • Enjel Pamio Cahaya Sitorus (210901074)
  • Khairany Amelia Putri (210901064)

Share Berita

POPULER

TERKAIT

Berita Terbaru

Penelitian Mahasiswa USU: Toleransi Beragama dalam Konteks Pancasila

Penelitian Mahasiswa USU: Toleransi Beragama dalam Konteks Pancasila

Teks Foto:ilustrasi SUARAPUBLIK.CO.ID – Opini | Toleransi merupakan kunci dari persatuan dari keberagaman umat beragama yang ada. Kebebasan memeluk agama yang dijamin oleh Negara Indonesia tidak berarti menutup diri dari agama lain di luar agama yang dianut. Kesadaran...

Urgensi Toleransi Beragama dalam Kehidupan Bermasyarakat

Urgensi Toleransi Beragama dalam Kehidupan Bermasyarakat

Teks Foto:ilustrasi SUARAPUBLIK.CO.ID – Opini | Sebagaimana kita ketahui, Indonesia merupakan negara dengan pluralisme agama, dimana tidak hanya satu agama saja yang diakui oleh negara, tetapi lebih dari satu agama, yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha...

Profesi Para Nabi: Peternak Domba dan Biri-biri di Aceh Tamiang

Profesi Para Nabi: Peternak Domba dan Biri-biri di Aceh Tamiang

Teks Foto:Asrizal H. Asnawi bersama Rahmat--peternak domba di Aceh Tamiang (Facebook:Asrizal H. Asnawi) SUARAPUBLIK.CO.ID - Karang Baru | Anggota DPR Aceh Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Asrizal H. Asnawi, menulis tentang kisah inspiratif, dilaman sosial facebook...

About the Author

Redaksi

Comments

0 Komentar

Kirim Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *