
ilustrasi
SUARAPUBLIK.CO.ID – Opini | Toleransi merupakan kunci dari persatuan dari keberagaman umat beragama yang ada. Kebebasan memeluk agama yang dijamin oleh Negara Indonesia tidak berarti menutup diri dari agama lain di luar agama yang dianut. Kesadaran akan keberagaman, sikap menerima, dan tidak egois adalah cara agar toleransi antar umat beragama bisa diwujudkan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat Kota Medan akan toleransi, dan bagaimana posisi Pancasila dalam hal perwujudan sikap toleransi dalam jiwa masyarakat. Dengan adanya kegiatan yang kami lakukan diharapkan agar toleransi menjadi sikap yang ada di setiap masyarakat agar tercipta persatuan sesuai sila ketiga Pancasila.
Indonesia adalah salah satu negara majemuk (pluraristik society), kemajemukan tersebut ditandai dengan banyaknya suku, bahasa, agama dan kepercayaan, budaya dan kehidupan politik. Salah satu yang menjadikan Indonesia sebagai negara majemuk adalah agama dan kepercayaan yang di peluk oleh masyarakat Indonesia. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia yakni, Kristen Protestan, Katolik, Islam, Khonghucu, Hindu dan Budha. Dalam kehidupan sosialnya, masyarakat dilindungi dan diberikan hak oleh negara dalam memilih agama dan kepercayaannya masing-masing, hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1) yang secara tegas menjamin kebebasan beragama.
Kebebasan memilih agama dan kepercayaannya masing-masing merupakan penerapan dari setiap sila yang terdapat dalam Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara memberikan ruang yang bebas bagi agama selama sesuai dengan nilai yang terkandung dalam Pancasila. Bebas memiliki makna bahwa setiap orang tidak bisa menyalahkan orang lain yang berbeda agama atau kepercayaan. Kebebasan tersebut diberikan untuk saling menjaga dan menghargai setiap perbedaan yang ada, sehingga timbul keharmonisan di lingkungan masyarakat.
Terciptanya kerukunan antar umat beragama, harus dilandasi dengan rasa toleransi yang tinggi serta pengamalan nilai-nilai Pancasila. Toleransi dapat diartikan sebagai kesediaan seseorang dalam menerima dan menghargai perbedaan yang ada di sekitarnya. Artinya, setiap orang tidak boleh menyalahkan perbedaan atau keyakinan orang lain dan membanding-bandingkannya dengan apa yang dianut atau diyakini orang tersebut. Dalam pelaksanaannya, toleransi harus dibarengi dengan kelapangan dada terhadap orang lain dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. Toleransi beragama sering menjadi fokus permasalahan di Indonesia, yang sering kali menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat.
Toleransi beragama dapat di maknai sebagai sikap lapang dada seseorang untuk menghormati dan menghargai ajaran dan ketentuan agama masing-masing yang diyakini tanpa ada yang mengganggu, menghina, atau memaksakan baik dari orang lain atau keluarga sendiri. Umat beragama pada saat ini, dituntut harus saling melengkapi perbedaan menjadi sebuah satu kesamaan yang kuat dan bukan sebaliknya mencari celah-celah perbedaan yang jatuhnya menimbulkan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.
Namun, dalam praktek di kehidupan sehari-hari, toleransi beragama hanya dianggap sebagai kata bualan saja, terlebih akibat perkembangan dari teknologi dan informasi. Intoleransi beragama dalam masyarakat menjadi hal yang lumrah sehingga menimbulkan rasa saling curiga dalam masyarakat. Masyarakat akan saling tuduhmenuduh siapa yang tidak toleransi dalam kehidupan beragama, terlebih dengan ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Pancasila yang sering membedakan satu dengan yang lain dan membenarkan diri.
Kami melakukan pengumpulan data tentang kondisi toleransi dalam konteks pancasila di Lapangan Merdeka Kota Medan. Dari hasil wawancara kepada beberapa pengunjung dapat disimpulkan bahwa toleransi di Kota Medan sudah tercipta dan mereka menyadari tentang pentingnya toleransi serta nilai toleransi dalam Pancasila.
Sayangnya, kami mendapati data masih adanya diskriminasi terhadap agama lain, “pernah, ketika ada teman saya mengirim stiker yang mengejek tuhan kami” jawab Clarissa (17) ketika ditanya apakah perna merasa terdiskrimansi oleh agama lain. Untuk hal ini penggunaan gadget yang baik harus lebih di sosialisasikan. Jangan sampai media sosial menjadi tempat orang semena-mena dalam menghina agama orang lain.
Kami berharap kedepannya tidak ada lagi kejadian penyalahgunaan media sosial terutama dalam hal pelaksanaan toleransi. Stiker yang mengejek agama lain, berita hoax yang mengundang perselisihan. Mari tanamkan sifat saling menghargai dan sadar akan adanya perbedaan dan menerima perbedaan tersebut demi Persatuan Indonesia.
Penulis adalah mahasiswa/i Universitas Sumatera Utara [USU] Medan
- David Armaya Silaban,
- Agnes Marsella Situmorang,
- Bintang Pulima Sembiring,
- Lusti Ronatama Sihaloho,
- Nurul Adilla Alatas Abus
0 Komentar